Sudah banyak orang tahu bahwa Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said.
Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta.
Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk
keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah
masuk agama Islam.
Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada
agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban.Tetapi karena melihat
keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat
jelata maka jiwa Raden Said berontak. Gelora jiwa muda Raden said
seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita
dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka
harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang
ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk
persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik
pajak. Raden Said yang mengetahui hal itu pernah mengajukan pertanyaan
yang mengganjal di hatinya. Suatu hari dia menghadap ayahandanya.
“Rama Adipati, rakyat tahun ini sudah semakin
sengsara karena panen banyak yang gagal,” kata Raden Said. “Mengapa
pundak mereka masih harus dibebani dengan pajak yang mencekik leher
mereka. Apakah hati nurani Rama tidak merasa kasihan atas penderitaan
mereka ?”
Adipati Wilatikta menatap tajam kea rah putranya.
Sesaat kemudian dia menghela nafas panjang dan kemudian mengeluarkan
suara, “Said anakku ….. saat ini pemerintah pusat Majapahit sedang
membutuhkan dana yang sangat besar untuk melangsungkan roda
pemerintahan. Aku ini hanyalah seorang bawahan sang Prabu, apa dayaku
menolak tugas yang dibebankan kepadaku. Bukan hanya Kadipaten Tuban yang
diwajibkan membayar upeti lebih banyak dari tahun-tahun yang lalu.
Kadipaten lainnya juga mendapat tugas serupa.”
“Tapi …… mengapa harus rakyat yang jadi korban.”
Sahut Raden Said. Tapi Raden Said tak meneruskan ucapannya. Dilihatnya
saat itu wajah ayahnya berubah menjadi merah padam pertanda hatinya
sedang tersinggung atau naik pitam. Baru kali ini Raden Said membuat
ayahnya marah. Hal yang selama hiduptak pernah dilakukannya.
Raden Said tahu diri. Sambil bersungut-sungut dia merunduk dan mengundurkan diri dari hadapan ayahnya yang sedang marah.
Ya, Raden Said tak perlu melanjutkan pertanyaan.
Sebab dia sudah dapat menjawabnya sendiri. Majapahit sedang membutuhkan
dana besar karena negeri itu sering menghadapi kekacauan, baik
memadamkan pemberontakan maupun terjadinya perang saudara.
Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia
lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terikat oleh adapt
istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau
dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang
paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak
mengetahui selukbeluk kehidupan rakyat Tuban. Niat untuk mengurangi
penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya
ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi
ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah
padam.
Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di
dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka
sekarang dia keluar rumah.
Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap,
Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk
disetorkan ke Majapahit. Bahan makan itu dibagi-bagikan kepada rakyat
yang sangat membutuhkannya.
Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu
menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga.
Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu,
sebabnya Raden Said melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang
seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang Kadipaten juga merasa
kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya makin hari barangbarang yang hendak
disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu makin berkurang.
Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil
bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja sengaja mengintip dari
kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.
Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu
gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan, pencuri
itu.Dia hampir tak percaya, pencuri itu adalah Raden Said, putra
junjungannya sendiri.
Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati
Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga
gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki
pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan.
Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa
bahan-bahan makanan, tiga orang prajurid Kadipaten menangkapnya beserta
barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa kehadapan ayahnya.
“Sungguh memalukan sekali perbuatanmu itu !”
hardik Adipati Wilatikta. “Kurang apakah aku ini, benarkah aku tak
menjamin kehidupanmu di istana Kadipaten ini ?
Apakah aku pernah melarangnya untuk makan sekenyang-kenyangnya di Istana ini ?
Atau aku tidak pernah memberimu pakaian ? Mengapa kau lakukan perbuatan tecela itu ?”
Raden Said tidak mengeluarkan suara. Biarlah,
bisik hatinya. Biarlah orang tak pernah tahu untuk apa barang-barang
yang tersimpan di gudang Kadipaten itu kuambil. Biarlah ayahku tak
pernah tahu kepada siapa barang-barang itu kuberikan. Adipati Wilatikta
semakin marah melihat sikap anaknya itu. Raden Said tidak menjawabnya
untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan
ke Majapahit itu.
Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman,
karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya maka dia
hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian
disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah.
Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah
diterimanya ? Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari
lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan
adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya ?
Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba
hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di kabupaten Tuban.
Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang.
Harta hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan
orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini
mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.
Ada seorang pemimpin perampok sejati yang
mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian
pemimpin rampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said,
bahkan juga mengenakan topeng seperti topeng Raden Said juga.
Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja
menyelesaikan shalat Isyá mendengar jerit tangis para penduduk desa yang
kampungnya sedang dijarah perampok.
Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu
mengetahui kedatangan Raden Said, kawanan perampok itu segera
berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik
memperkosa seorang gadis cantik. Raden Said mendobrak pintu rumah si
gadis yang sedang diperkosa. Di dalam sebuah kamar dia melihat seseorang
berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang
berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah selesai
memperkosa gadis itu.
Raden Said berusaha menangkap perampok itu. Namun
pemimpin rampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar suara
kentongan di pukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan
ke tempat itu.Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok
tadi menghamburkan diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden
Said pun jadi panik dan kebingungan.Para pemuda dari kampung lain
menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa
ke rumah kepala desa.
Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka
topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik
topeng itu sang kepala desa jadi terbungkam. Sama sekali tak disangkanya
bahwa perampok itu adalah putra junjungannya sendiri yaitu Raden Said.
Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap perampok dan
pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti kuat dan saksi hidup
atas kejadian itu.
Sang kepala desa masih berusaha menutup aib
junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana Kadipaten Tuban
tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka.
Sang Adipati yang selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela
anaknya kali ini juga naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah
Kadipaten Tuban.
“Pergi dari Kadipaten Tuban ini !” kau telah
mencoreng nama baik keluargamu sendiri ! pergi ! jangan kembali sebelum
kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan
ayat-ayat Al-Qur’an yang sering kau baca di malam hari !”
Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas
kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya
selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu.
Sirna sudah segala harapan sang adipati. Hanya ada satu orang yang tak
dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden
said. Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin
melakukan perbuatan keji. Hati siapa yang takkan hancur mengalami
peristiwa seperti ini. Raden Said bermaksud menolong fakir miskin dan
penduduk yang menderita tapi akibatnya justru dia sendiri yang harus
menelan derita. Diusir dari Kadipaten Tuban.
Orang tua mana yang tak terpukul batinnya
mengetahui anak dambaan hati tiba-tiba berbuat jahat dan menghancurkan
nama dan masa depannya sendiri. Tapi itulah peristiwa yang memang harus
dialami oleh Raden Said. Seandainya tidak ada fitnah seperti itu,
barangkali Raden Said tidak bakal menjadi seorang ulama besar, seorang
Wali yang dikagumi oleh seluruh penduduk Tanah Jawa. Raden Said
betul-betul meninggalkan Kadipaten Tuban.
Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya
itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan
istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.
Tentu saja sang ayah dan ibu kelabakan mengetahui hal ini. Segera saja
diperintahkan puluhan prajurit Tuban untuk mencari Dewi Rasawulan tak
pernah ditemukan oleh mereka.
Di dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan bahwa Dewi
Rasawulan pada akhirnya telah ditemukan oleh Empu Supa, seorang
Tumenggung Majapahit yang menjadi murid Sunan Kalijaga. Dewi Rasawulan
kemudian dijodohkan dengan Empu Supa. Dan kembali ke Tuban bersama-sama
dengan diantar Sunan Kalijaga yang tak lain adalah Raden Said sendiri.
2. MASA PENGGEMBLENGAN DIRI.
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari
Kadipaten Tuban ? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada
akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia
menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman ?
Karena hasil rampokannya itu tak pernah
dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang
dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak
menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat. Di hutan
Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal
Lokajaya.
Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat
di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya.
Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan.
“Pasti gagang tongkat itu terbuat dari emas,” bisik Brandal Lokajaya dalam hati.
Terus diawasinya orang tua berjubah putih itu.
Setelah dekat dia hadang langkahnya sembari berkata, “Orang tua, apa kau
pakai tongkat ? Tampaknya kau tidak buta, sepasang matamu masih awas
dan kau juga masih kelihatan tegar, kuat berjalan tanpa tongkat !”
Lelaki berjubah putih itu tersenyum, wajahnya
ramah, dengan suara lembut dia berkata, “Anak muda ………. Perjalanan hidup
manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang
berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila
berjalan dalam kegelapan.”
“Tapi ………. saat ini hari masih siang, tanpa
tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini.” Sahut
Raden Said. Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif, “anak muda
………. Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di
tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku
tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan.”
“Tetapi ………. saat ini hari masih siang, tanpa tongkat
saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini.” Sahut Radeb
Said. Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif, “Anak muda
tongkat adalah pegangan, orang hidup haruslah mempunyai pegangan supaya
tidak tersesat dalam menempuh perjalanan hidupnya.”
Agaknya jawab-jawab yang mengandung filosofi itu
tak menggugah hati Raden Said. Dia mendengar dan mengakui kebenarannya
tapi perhatiannya terlanjur tertumpah kepada gagang tongkat lelaki
berjubah putih itu. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari
tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa
maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang
matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden
Said pada saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang
dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya
gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya
matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang itu menangis.
Segera diulurkannya kembali tongkat itu, “Jangan menangis, ini tongkatmu
kukembalikan.”
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” Ujar lelaki
itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya.
“Lihatlah ! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesiasiaan. Rumput ini
tercabut ketika aku aku jatuh tersungkur tadi.”
“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa ?” Tanya Raden Said heran.
“Ya, memang berdosa ! Karena kau mencabutnya tanpa
suatu keperluan. Andaikata guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi
untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa !” Jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
“Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini ?”
“Saya mengintai harta ?”
“Untuk apa ?”
“Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita.”
“Hemm, sungguh mulia hatimu, sayang …… caramu mendapatkannya yang keliru.”
“Orang tua ………. apa maksudmu ?”
“Boleh aku bertanya anak muda ?”
“Silahkan ………. “
“Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar ?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya manambah kotor dan bau pakaian itu saja.”
Lelaki itu tersenyum, “Demikian pula amal yang kau
lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang di dapat secara haram,
merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan air
kencing.”
Raden Said tercekat.
Lelaki itu melanjutkan ucapannya, “Allah itu
adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau
halal.”Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu
mulai menghujam tubuh hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini. Di
pandangnya sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan
berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan
tertarik pada lelaki berjubah putih itu.
“Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentas
kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa
merubahnya hanya dengan memberi para penduduk miskin bantuan makan dan
uang. Kau harus memperingatkan para penguasa yang zalim agar mau merubah
caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat
membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya !”
Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini.
“Kalau kau tak mau kerja keras, dan hanya ingin
beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal.
Ambillah sesukamu !”
Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada
sebatang pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya.
Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti,
banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang
aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu
sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat
mengatasinya.
Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang itu tidak mempergunakan sihir
Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia
mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas
seluruhnya.Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas
berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai
kepala Raden Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.
Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah
berubah lagi menjadi hijau seperti arenaren lainnya. Raden Said bangkit
berdiri, mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah
tak ada di tempat.
“Pasti dia seorang sakti yang berilmu tinggi.
Menilik caranya berpakaian tentulah dari golongan para ulama atau
mungkin salah seorang dari Waliullah, aku harus menyusulnya, aku akan
berguru kepadanya,” demikian pikir Raden Said.
Raden Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan
dikerahkannya untuk berlari cepat, akhirnya dia dapat melihat bayangan
orang itu dari kejauhan. Seperti santai saja orang itu melangkahkan
kakinya, tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun,
terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras
habis dia baru sampai di belakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena
kehadiran Raden Said melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup
lebar.Tak ada jembatan, dan sungai itu tampaknya dalam, dengan apa dia
harus menyeberang.
“Tunggu ………. “ ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.
“Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid …… “ Pintanya.
“Menjadi muridku ?” Tanya orang itu sembari menoleh. “Mau belajar apa ?”
“Apa saja, asal Tuan menerima saya sebagai murid ……“
“Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya ?”
“Saya bersedia …… “
Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di
tepi sungai. Raden Said diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak
dari tempat itu sebelum lelaki itu kembali menemuinya.
Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said
terbelalak heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan
didaratan saja. Kakinya tidak basah terkena air.
Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden
Said, pemuda itu duduk bersila, dia berdo’a kepada Tuhan supaya
ditidurkan seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam. Do’anya
dikabulkan. Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga tahun. Akar
dan rerumputan telah membalut dan hampir menutupi sebagian besar
anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu
datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah
setelah mengumandangkan adzan, pemuda itu membuka sepasang matanya.
Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian
dibawa ke Tuban.Mengapa ke Tuban ?
Karena lelaki berjubah putih itu
adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai
dengan tingkatnya, yaitu tingkat para Waliullah. Di kemudian hari Raden
Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga. Kalijaga artinya orang yang
menjaga sungai.
Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah
penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga maksudnya
supaya tidak membahayakan ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam
yang benar. Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said
dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang
pergi selalu membawa tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan
Bonang selalu membawa agama, membawa iman sebagai penunjuk jalan
kehidupan.
Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat
atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk
terjun ke dalam kancah masyarakat Jawa yang banyak mempunyai aliran
kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa ambles ke dalam sungai.
Bahkan sedikitpun ia tidak terkena percikan air
sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan dengan masyarakat
yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh
Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.
Raden Said sewaktu bertapa ditepi tubuhnya tidak
sampai hanyut ke aliran sungai, hanya daun, akar dan rerumputan yang
menutupi sebagian besar anggota tubuhnya. Itu artinya Raden Said bergaul
dengan masyarakat Jawa, adat istiadat masyarakat di pakai sebagai alat
dakwah, dan diarahkan kepada ajaran Islam yang bersih, namun usaha itu
tampaknya sedikit mengotori tubuh Raden Said dan setelah tiga tahun
Sunan Bonang membersihkannya dengan ajaran-ajaran Islam tingkat tinggi
sehingga Raden Said masuk kegolongan para Wali. Dan pengetahuan agamanya
benar-benar telah cukup untuk dipergunakan menyebarkan agama Islam.
Demikian sehingga tafsiran dari kisah legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang.
3. KERINDUAN SEORANG IBU.
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua
anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup.
Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang
mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika
berguncang. Kebetulan saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, perampok
itu mengenakan pakaian dan topeng yang dikenakan Raden Said. Rahasia
yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan
perampok itu tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.
Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia
benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya itu.
Sang ibu tak pernah tahu bahwa anak yang didambakannya itu
bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban. Hanya saja tidak
langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan ketempat tinggal Sunan
Bonang. Untuk mengobati kerinduan sang ibu. Tidak jarang Raden Said
mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an dari jarak jauh
lalu suaranya dikirim ke istana Tuban.
Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar
menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi
hati Adipati Tuban dan istrinya. Tapi Raden Said, masih belum
menampakkan diri. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Di antaranya
menemukan adiknya kembali. Pada akhirnya, dia kembali bersama adiknya
yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan
istrinya menerima kedatangan putra-putri yang sangat dicintainya itu.
Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan
Adipati Tuban. Dia lebih suka menjalani kehidupan yang dipilihnya
sendiri. Walau sedikit kecewa Adipati Tuban agak terhibur, sebab suami
Dewi Rasawulan juga bukan orang sembarangan. Empu Supa adalah seorang
Tumenggung Majapahit yang terkenal. Cucu yang lahir dari keturunan Empu.
Akhirnya kedudukan Adipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu
putra Dewi Rasawulan dan Empu Supa.
Raden Said meneruskan pengembaraannya. Berdakwah
atau menyebarkan agama Islam di Jawa tengah hingga ke Jawa Barat. Dalam
usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggal nya yang
terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak.
4. JASA SUNAN KALIJAGA.
Jasa Sunan Kalijaga sangat sukar dihitung karena
banyaknya. Beliau dikenal sebagai Mubaligh, ahli seni, budayawan, ahli
filsafat, sebagai Dalang Wayang Kulit dan sebagainya. Untul lebih
detailnya para pembaca dipersilahkan membaca literatur berjudul Sunan
Kalijaga yang ditulis oleh saudara Umar Hayim, diterbitkan oleh Menara
Kudus.
Di dalam buku tersebut diuraikan dengan lengkap jasa dan karya Sunan Kalijaga.
Di dalam buku ini kami nukilkan sebagian kecil dari karya dan jasa Sunan Kalijaga.
A. SEBAGAI MUBALIGH.
Beliau dikenal sebagai ulama besar, seorang Wali
yang memiliki karisma tersendiri diantara Wali-Wali lainnya. Dan paling
terkenal di kalangan atas maupun dari kalangan bawah. Hal itu disebabkan
Sunan Kalijaga suka berkeliling dalam berdakwah, sehingga beliau juga
dikenal sebagai Syekh Malaya yaitu mubaligh yang menyiarkan agama Islam
sambil mengembara. Sementara Wali lainnya mendirikan pesantren atau
pedepokan untuk mengajar murid-muridnya.
Caranya berdakwah sangat luwes, rakyat Jawa yang
pada waktu itu masih banyak menganut kepercayaan lama tidak ditentang
adat istiadatnya. Beliau dekati rakyat yang masih awam itu dengan cara
halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak memakai jubah sehingga
rakyat tidak merasa angker dan mau menerima kedatangannya dengan senang
hati.
Pakaian yang dikenakan sehari-hari adalah pakaian
adat Jawa yang di disain dan disempurnakan sendiri secara Islami. Adat
istiadat rakyat, yang dalam pandangan Kaum Putihan dianggap bid’ah tidal
langsung ditentang olehnya selaku Pemimpin Kaum Abangan. Pendiriannya
adalah rakyat dibuat senang dulu, direbut simpatinya sehingga mau
menerima agama Islam, mau mendekat pada para Wali. Sesudah itu barulah
mereka diberi pengertian Islam yang sesungguhnya dan dianjurkan membuang
adat yang bertentangan dengan agama Islam.
Kesenian rakyat baik yang berupa gamelan, gencing
dan tembang-tembang dan wayang dimanfaatkan sebesar-besarnya sebagai
alat dakwah. Dan ini ternyata membawa keberhasilan yang gemilang, hampir
seluruh rakyat Jawa pada waktu itu dapat menerima ajakan Sunan Kalijaga
untuk mengenal agama Islam.
B. SUNAN KALIJAGA SEBAGAI AHLI BUDAYA.
Gelar tersebut tidak berlebihan karena beliaulah
yang pertama kali menciptakan seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni
gamelan, wayang kulit, bedug di mesjid, Gerebeg Maulud, seni Tata Kota
dan lain-lain.
a. Seni Pakaian :
Beliau yang pertama kali menciptakan baju taqwa.
Baju taqwa ini pada akhirnya disempurnaka oleh Sultan Agung dengan
dester nyamping dan keris serta rangkaian lainnya. Baju ini masih banyak
di pakai oleh masyarakat Jawa, setidaknya pada upacara pengantin.
b. Seni Suara :
Sunan Kalijagalah yang pertama kali menciptakan tembang Dandang Gula dan Dandang Gula Semarangan.
c. Seni Ukir :
Beliau pencipta seni ukir bermotif dedaunan,
bentuk gayor atau alat menggantungkan gamelan dan bentuk ornamentik
lainnya yang sekarang dianggap seni ukir Nasional.
Sebelum era Sunan Kalijaga kebanyakan seni ukir bermotifkan manusia dan binatang.
d. Bedug atau Jidor di Mesjid :
Beliaulah yang pertama kali mempunyai ide
menciptakan Bedug di masjid, yaitu memerintahkan muridnya yang bernama
Sunan Bajat untuk membuat Bedug di masjid Semarang guna memanggil orang
untuk pergi mengerjakan shalat jama’ah.
e. Gerebeg Maulud :
Ini adalah acara ritual yang diprakarsai Sunan
Kalijaga, asalnya adalah tabliqh atau mengajian akbar yang
diselenggarakan para wali di Masjid Demak untuk memperingati Maulud
Nabi.
f. Gong Sekaten :
Adalah gong ciptaan Sunan Kalijaga yang nama
aslinya adalah Gong Syahadatain yaitu dua kalimah Syahadat. Bila gong
itu dipukul akan berbunyi bermakna :di sana di situ, mumpung masih
hidup, berkumpullah untuk masuk agama Islam.
g. Pencipta Wayang Kulit :
Pada jaman sebelum Sunan Kalijaga, wayang bentuknya adalah sebagai berikut;
Adegan demi adegan wayang tersebut digambar pada
sebuah kertas dengan gambar ujud manusia.Dan ini diharamkan oleh Sunan
Giri. Karena diharamkan oleh Sunan Giri, Suna Kalijaga membuat kreasi
baru, bentuk wayang dirubah sedemikian rupa, dan digambar atau di ukir
pada sebuah kulit kambing, satu lukisan adalah satu wayang, sedang di
jaman sebelumnya satu lukisan adalah satu adegan. Gambar yang
ditampilkan oleh Sunan Kalijaga tidak bisa disebut gambar manusia, mirip
karikatur bercita rasa tinggi. Diseluruh dunia hanya di Jawa inilah ada
bentuk wayang seperti yang kita lihat sekarang.Itulah ciptaan Sunan
Kalijaga.
h. Sebagai Dalang :
Bukan hanya pencipta wayang saja, Sunan Kalijaga
juga pandai mendalang. Sesudah peresmian Masjid Demak dengan shalat
Jum’ah, beliaulah yang mendalang bagi pagelaran wayang kulit yang
diperuntukkan menghibur dan berdakwah kepada rakyat.
Lakon yang dibawakan seringkali ciptaannya
sendiri, seperti ; Jimat Kalimasada, Dewi Ruci, Petruk Jadi Raja, Wahyu
Widayat dan lain-lain.
Dalang dari kata “dalla” artinya menunjukkan jalan yang benar.
i. Ahli Tata Kota :
Baik di Jawa maupun Madura seni bangunan Tata
Kota yang dimiliki biasanya selalu sama.Sebab Jawa dan Madura mayoritas
penduduknya adalah Islam. Para penguasanya kebanyakan meniru cara Sunan
Kalijaga dalam membangun Tata Kota.
Tehnik bangunan Kabupaten atau Kota Praja biasanya terdiridari :
1. Istana atau Kabupaten
2. Alun-alun
3. Satu atau dua pohon beringin
4. Masjid
Letaknya juga sangat teratur, bukan sembarangan.Alun-alun ;berasal dari
kata “Allaun” artinya banyak macam atau warna. Diucapkan dua kali
“Allaun-allaun” yang maksudnya menunjukkan tempat bersama ratanya
segenap rakyat dan penguasa di pusatkota.
Waringin : dari kata “Waraa’in artinya orang yang
sangat berhati-hati. Orang-orang yang berkumpul di alun-alun itu sangat
hati-hati memelihara dirinya dan menjaga segala hukum atau
undang-undang, baik undang-undang negara atau undang-undang agama yang
dilambangkan dengan dua pohon beringin yaitu Al-Qur’an dan hadits Nabi.
Alun-alun biasanya berbentuk segi empat hal ini dimaksudkan agar dalam
menjalankan ibadah seseorang itu harus berpedoman lengkap yaitu syariat,
hadiqat dan tariqat dan ma’rifat. Jadi tidak dibenarkan hanya
mempercayai yang hakikat saja tanpa mengamalkan syariat agama Islam.
Untuk itu disediakan Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah.
Letak istana atau kantor kabupaten : letak istana
atau pendapat kabupaten biasanya berhadapan dengan alun-alun dan pohon
beringin. Letak istana atau kabupaten itu biasanya menghadap ke laut dan
membelakangi gunung. Ini artinya para penguasa harus menjauhi
kesombongan, sedang menghadap ke laut artinya penguasa itu hendaknya
berhati pemurah dan pemaaf seperti luasnya laut. Sedang alun-alun dan
pohon beringin yang berhadapan dengan istana atau kabupaten artinya
penguasa harus selalu mengawasi jalannya undang-undang dan rakyatnya.
(dongeng kak rico)